Selasa, 25 Mei 2010

POHON ITU BERNAMA PROVINSI BANTEN

Gagasan di Media Massa


TAHUN 1997, Uwes Qorny bersuara lewat Harian Merdeka, Jakarta, mengenai pembentukan Provinsi Banten. Perang pena, pro dan kontra pun terjadi. Salah seorang yang kontra-Provinsi Banten adalah Gubernur Jawa Barat sendiri, H. R. Nuriana, meski pada hari-hari berikutnya Gubernur Nuriana ikhlas melepaskan Banten jadi provinsi.

Tahun 1998, Uwes Qorny berkeliling sendiri baik di Bandung maupun di Banten, bukan jadi wisatawan, melainkan mengajak para aktivis memperjuangkan kembali pembentukan Provinsi Banten. Mengapa berkeliling sendiri? Soalnya, gagasannya yang dimuat harian Merdeka itu dirasakannya tanpa reaksi cepat. Harian Jayakarta tidak kalah gencar mengangkat kembali isu pembentukan Provinsi Banten itu. Tanggal 4 Juni 1998, anak terbit Suara Pembaharuan ini “merintih” karena kabupaten-kabupaten di Banten tergolong miskin.

Bahkan, dua kabupatennya, Lebak dan Pandeglang, paling miskin di Jawa Barat, diindikasikan dengan paling banyak desa miskinnya di kedua kabupaten yang bertetangga itu. Dua kabupaten yang tidak begitu jauh dari Jakarta ini ternyata kondisinya sangat menyedihkan jika dibandingkan dengan kabupaten lain.

“Saya menulis berita itu dengan penuh perasaan, keterpanggilan moral. Kabupaten tempat saya dibesarkan dan dilahirkan ini mestinya minimal sejajar dengan kabupaten lain di wilayah sana,” kata Syam Nursaputra, wartawan Jayakarta yang kemudian ikut bersorak ketika Banten jadi provinsi. Sebelum menulis berita, Syam berdiskusi dengan Ketua KUMALA, Deddy S. Wihardja, S.E. Tentu saja, Deddy amat setuju dimunculkannya kembali isu pembentukan Provinsi Banten itu. Bagi KUMALA, perjuangan pembentukan Provinsi Banten memang sudah sejak lama diagendakan. Kenyataan objektifnya, Banten “wajib” jadi provinsi tersendiri.

Cerita Syam Nursaputra, seperti hasil pengamatannya, ketika itu warga baru berani bisik-bisik saja (tetapi akhirnya santer juga terdengar) membicarakan kemungkinan pembentukan Provinsi Banten. “Saya tangkap bisik-bisik mereka, saya tulis, dan jadilah berita,” kata Syam. “Itu aspirasi yang perlu diangkat ke permukaan,” tambah Syam Nursaputra.

Bukan saja pada harian Jayakarta, koran terbesar di Jawa Barat, Pikiran Rakyat, memuat “perang pena” mengenai Provinsi Banten. Gagasan pembentukan Provinsi Banten bergulir pula melalui satu-satunya penerbitan pers di Banten ketika itu, Banten Ekspres, (1999), lewat tulisan Uwes Qorny.

Harian Umum Republika (1999), memuat pernyataan Sumitro, seorang pakar pemerintahan, bahwa Jawa Barat perlu dimekarkan jadi tiga provinsi : Jawa Barat Tengah (Priangan), Banten, dan Jawa Barat Utara (Cirebon, Subang, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka).

Setelah itu, tidak terhitung lagi opini, komentar, laporan khusus, dan lain-lain seputar dan sekitar pembentukan Provinsi Banten - termasuk melalui media massa elektronik (radio dan televisi).

Maraknya isu pembentukan provinsi Banten dalam media massa, baik yang pro maupun yang kontra, akhirnya jadi publikasi juga, yang sekaligus meringankan beban para aktivis dalam menyebarkan dan menyuburkan gagasan-gagasannya.



Diskusi dan Demonstrasi



Tahun 1998, berlangsung diskusi terbatas di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, yang dihadiri unsur KUMALA, eksponen Angkatan 66, birokrat, tokoh masyarakat, pimpinan DPRD Lebak, dan lain-lain. Peserta diskusi terbatas yang hadir ketika itu, antara lain, Drs. H. Uwes Qorny, H. Hasan Alaydrus, Drs. H. Deddy A. Soepardi, Halimi, Tony, Drs. Saifullah Saleh, R. Ilyas Martadjaya, S.H. , Koswara Poerwasasmita, S.H. , Taufik Rakhman, S.H., Drs. Ganda Sungkawa, Drs. Pelly Sutadidjaja, Drs. Muhammad Mansur, dan Hikmat Sjadeli.

Di Pandeglang pun terjadi diskusi terbatas serupa, dihadiri Drs. H. Uwes Qorny, H. Menon, H. Rifa’i, Aan Heryana, Matin, dan lain-lain dengan topik diskusi kemungkinan diteruskannya kembali perjuangan pembentukan Provinsi Banten. Juga, di Serang, diskusi serupa digelar, dengan topik yang sama, dihadiri aktivis PGRI H. Sanuri Almaariz, H. Djunaedi As’ad, Drs. H. Rafiuddin Akhyar, Uu Mangkusasmita, dan Drs. H. Uwes Qorny.

Diskusi di ketiga kabupaten itu tidak segera ditindaklanjuti, antara lain, karena menghadapi kendala teknis pengorganisasian. Meski begitu, gerakan pembentukan Provinsi Banten ibarat air mengalir, terus menerobos mencari peluang. Di samping diskusi, para mahasiswa - baik yang ada di Banten maupun yang ada di luar Banten - bahkan kemudian melancarkan aksi demonstrasi tuntutan pembentukan Provinsi Banten di DPRD I Jawa Barat (1999).



2. PEMATANGAN



Pembentukan KPPB



Sebelum gagasan pembentukan Provinsi Banten dipublikasikan dan diperjuangkan kembali lebih jauh, sejumlah tokoh pergerakan Provinsi Banten membentuk sebuah organisasi, lengkap dengan anggaran dasar, pengorganisasian pergerakan, dan lain-lain yang mengarah pada realisasi pembentukan Provinsi Banten secara demokratis dan konstitusional.

Sebuah pergerakan tanpa pengorganisasian, pada akhirnya bisa berantakan juga. Orang yang dibutuhkan di sini seorang manajer, bukan seorang ketua semata. Idealnya, seorang ketua, juga seorang manajer.

Pembentukan Komite Pembentukan Provinsi Banten, disingkat KPPB, didasarkan pada keinginan mewujudkan sebuah cita-cita demi masa depan Banten yang lebih baik. KPPB dibentuk sebagai wadah penghimpunan semua potensi yang konstruktif dan produktif demi kelancaran terwujudnya Provinsi Banten. KPPB tidak bersifat permanen, hanya sampai terbentuknya Provinsi Banten secara definitif, dan dapat dibubarkan setelah terbentuknya Provinsi Banten. Jadi, KPPB bisa bubar setelah kau kuantar ke gerbang provinsi.

KPPB lahir pada 18 Juli 1999, dengan ketua Uwes Qorny dan sekretaris Uu Mangkusasmita. Anggota pengurus KPPB 43 orang (Lampiran I). Gerakan pertama KPPB, mensosialisasikan deklarasi dan tekad memperjuangkan kembali pembentukan Provinsi Banten.

Naskah deklarasi yang mirip-mirip naskah proklamasi kemerdekaan RI itu (lihat dalam boks) , aslinya ditulis tangan, ditandatangani empat deklarator, terdiri dari Uwes Qorny, Uu Mangkusasmita, Raden Burnama, Ir. M. Eng., dan Sofyan Ikhsan.



Bukan Generasi Pertama



Generasi pertamakah mereka dalam gerakan pembentukan Provinsi Banten? Tidak seorang pun dari anggota pengurus yang mengaku begitu. Tidak pula Uwes Qorny atau Uu Mangkusasmita. Dalam setiap kesempatan pertemuan atau pidato-pidato, Uwes Qorny selalu mengaitkan perjuangannya dengan perjuangan generasi terdahulu.

Mereka tahu, ada generasi sebelumnya yang memperjuangkan pembentukan Provinsi Banten dengan segala suka dan dukanya. Kalau mereka disebut generasi pertama yang tergugah kembali memperjuangkan pembentukan Provinsi Banten pada era reformasi, tampaknya, tidak akan ada yang membantahnya.



Demi Kekompakan



Tidak lama setelah KPPB berdiri, rakyat Banten yang juga tergugah memperjuangkan kembali pembentukan Provinsi Banten mendirikan kelompok yang senafas. Apa pun, akhirnya gagasan pembentukan Provinsi Banten dari hari ke hari semakin marak, semakin meluas, dan semakin menguat.

Untuk mengorganisasikan kelompok-kelompok tersebut, lahirlah sebuah badan koordinasi dengan nama Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten, disingkat BKPPB, diketuai H. Tryana Sjam’un, S.E dan sekretarisnya Drs. H. Farich Nachril, M.B.A.

Peran Mendagri dan Otda Soerjadi Sudirdja amat besar dalam pembentukan BKPPB ini. Dalam kapasitasnya sebagai urang Banten, Soerjadi menginginkan wadah yang memperjuangkan pembentukan Provinsi Banten itu satu saja demi terpeliharanya kekompakan.

Tema Sentral Kampanye



Musim kampanye Pemilu 1999 tiba. Maka, isu dukungan pembentukan provinsi datang dari para politisi terus menguat. Bagi jurkam, rasanya, bagai masakan tanpa garam kalau berkampanye di Banten tanpa “cubitan” gagasan pembentukan Provinsi Banten.

Para jurkam nasional khususnya, kalau berkampanye di Banten, tidak luput dari pernyataan dukungan terhadap pembentukan Provinsi Banten, seperti disampaikan Ketua DPP PAN Prof. Dr. H. Amien Rais dan Ketua DPP MKGR Ny. Mien Soegandhi.

Tidak ketinggalan, Ketua Partai Daulat Rakyat (PDR) Jawa Barat Drs. H. Uwes Qorny selalu membidik pembentukan Provinsi Banten sebagai tema sentral kampanye. Jurkam di daerah pun ber”paduan suara” mendukung pembentukan Provinsi Banten.



Pokoknya, Banten Yes!



Jauh sebelum RUU Provinsi Banten diresmikan, sebenarnya Banten sudah jadi “provinsi”, setidak-tidaknya pada spanduk di jalan-jalan utama , pada kaos oblong, pada stiker di mobil dan motor, pada topi dan ikat kepala, juga pada edaran dan selebaran.

Bunyi pada spanduk dan stiker ada yang menggunakan bahasa baku resmi, bahasa sehari-hari, bahasa lokal, dan ada pula bahasa yang mengandung dan mengundang senyum. Ungkapan seadanya, dengan bahasa sederhana, muncul di sana-sini. Bukan soal tata bahasa, atau rangkaian kata-kata, melainkan misi komunikasinya. Itu saja.

Pokoknya, Provinsi Banten, yes! seperti bunyi salah sebuah spanduk. Rakyat kecil pun banyak yang ikut menyuarakan Provinsi Banten pada saat-saat merekalah yang sebenarnya paling merasakan beban berat dampak krisis ekonomi tahun-tahun terakhir abad ini, di negeri ini.



Jangan-Jangan…Akan Ditunda Lagi



Mendagri dan Otonomi Daerah, Surjadi Soedirdja, yang asli urang Banten itu, tidak mudah meng-goal-kan aspirasi rakyat sekampung halamannya sebelum segala prosesi pembentukan Provinsi Banten ditempuh secara formal dan prosedural.

Rapat paripurna pembahasan RUU Pembentukan Provinsi Banten di DPR-RI sempat tertunda sampai tiga kali (17 Maret, 22 Mei, dan 8 September). Belum diketahui pasti alasan penundaan itu kecuali soal teknis dan administratif. Menyangkut soal substantif? Inilah yang dikhawatirkan rakyat Banten. Jangan-jangan….akan ditunda lagi seperti hari-hari sebelumnya.

Rakyat Banten hampir saja kecewa, bahkan di antara mereka ada yang berniat melancarkan aksi demonstrasi besar-besaran dengan menduduki jalan tol dan Bandara Soekarno-Hatta. Ah, masa?

“Kalau tidak disetujui, jadi negara Banten saja, mengapa tidak? Bukankah dahulu pun Banten sebuah negara, sebuah kesultanan?” kata Ketua Sub KPPB Kabupaten Lebak, H. Mulyadi Jayabaya, berkelakar.

Tidak heran, karena memang karakteristik Mulyadi Jayabaya sering-sering meledak-ledak. Kalau karakteristiknya tidak meledak-ledak, itu Mulyadi lain, Yas’a Mulyadi yang bupati Lebak.

Gedung Biru di jalur Rangkasbitung – Pandeglang, sering jadi tempat pertemuan para aktivis pembentukan Provinsi Banten. Bukan saja Gedung Biru, malah beberapa kendaraan bus atau truk milik Mulyadi pun sering jadi angkutan gratis massa pro-Provinsi Banten, misalnya ketika ramai-ramai mendatangi gedung DPR.

Habibie dan Gus Dur : “Sampaikan ke DPR !”


Presiden Habibie berkunjung ke Banten, suatu hari, pada tahun 1999. Kunjungannya yang kali pertama jadi presiden itu dipusatkan di Pondok Pesantren Darul Iman, Kabupaten Pandeglang. Maka, itu kesempatan emas bagi ulama Banten untuk menyampaikan aspirasi pembentukan Provinsi Banten kepada Presiden Habibie. Bebas bertanya, tanpa harus ada skenerio sebelumnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Darul Iman, K.H.Aminuddin, L.M.L. yang juga sekaligus mewakili ulama di Banten, jadi juru bicara penyampaian aspirasi pembentukan Provinsi Basnten itu. Dalam jawabannya ketika itu, Rudy - panggilan akrab Presiden Habibie - menyerahkan uruasannya kepada para anggota DPR

Jawaban yang sama disampaikan pula Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dalam acara dialog, di Pondok Pesantren Nurul El-Falah, Petir, Kabupaten Serang, seusai salat Jumat. “Sampaikan saja ke DPR,” jawab Presiden Wahid, alias Gus Dur, pendek saja.

Baik Habibie mapun Gus Dur, tentu saja, tidak akan menjawab setuju atau tidak setuju karena ada lembaga yang berkompeten untuk itu. Mereka tahu porsi dan posisi masing-masing. Oh, alangkah indahnya kalau kebiasaan menyadari porsi dan posisi masing-masing itu jadi budaya - dan melekat di lingkungan pejabat.



Pusat Bersahabat



Kini, zaman “Orde Reformasi”, anggota DPR-RI, pejabat, pengusaha, tokoh masyarakat, ilmuawan, pelawak, dan pendekar asal Banten, oramng biasa, atau orang yang punya kaitan emosional dengan Banten tetapi tinggal di Jakarta, seperti sudah dikomandokan mendukung penuh pembentukan Provinsi Banten.

Semua itu sangat berbeda dengan reaksi pejabat pada tahun 1960-1980-an. Boleh jadi, ketika itu, karena tidak ada isyarat “lampu hijau” dari Pemerinah Pusat, maka para pejabat bawhan pun manggut-manggut saja.

Tampak tidak ada lagi taktik penggalangan seperti yang dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Tidak ada pula utusan yang bisik-bisik kepada aktivis perjuangan pembentukan kembali Provinsi Banten seperti dilakukan utusan Ali Murtopo.

Juga, usaha pengalihan perhatian seperti yang dilakukan Kodam Siliwangi, tidak ada. Boleh jadi, kini, Pemerintah Pusat tidak pernah gusar. Kalau rakyat Banten menuntut merdeka, itu boleh jadi pejabat pusat terperangah.

Pengguliran Isu pembentukan Provinsi Banten pada hari-hari menjelang pemilu 1999, ternyata jadi nilai tambah. Soalnya, jurkam dari pusat pun ikut nimbrung mendukung pembentukan Provinsi Banten.

Soal apakah dukungan itu hanya untuk mendongkrak perolehan suara di Banten atau benar-benar keluar dari sanubari, itu perkara lain. Ah, husnu ‘dz-dzan saja. Kesimpulannya, pusat bersahabat. Semua itu dirasakan benar para aktivis perjuangan pembentukan Provinsi Banten. Apalagi, banyak orang Banten yang sudah jadi orang sukses di di pusat – dan mereka mendukung penuh.

DPRD di Banten Setuju



DPRD di kabupaten dan kota se-Wilayah I Banten tentu saja amat berperan dalam pembentukan Provinsi Banten. Sekiranya keenam DPRD itu mogok menyalurkan aspirasi warga, maka betapa akan rumitnya pembentukan Provinsi Banten itu. Syarat adanya persetujuan dan rekomendasi dari DPRD memang tak bisa ditawar-tawar lagi.

DPRD Pandeglang tercatat yang kali pertama menyetujui dan merekomendasikan pembentukan Provinsi Banten, menyusul DPRD Lebak, sampai akhirnya semua DPRD se-Wilayah I Banten “berjamaah” menyetujui dan merekomendasikannya.

Juga, peran DPR-RI tidak boleh diabaikan. Sekiranya fraksi-fraksi di DPR-RI menolak pembentukan Provinsi Banten, meski DPRD se-Wilayah I Banten sudah setuju, tentu akan terhambat juga.

Aksi-aksi demonstrasi penyaluran aspirasi ke DPRD di kabupaten dan kota memang marak. “Peran DPRD menampung aspirasi warga. Dari Lebak misalnya, aspirasi itu kami sampaikan apa adanya,” kata Ketua DPRD H..M. Sudirman.

Memang, DPRD harus jadi “pipa” penyalur air minum. Jangan sampai terjadi, yang dikucurkan air susu, ternyata yang keluar air mata – misalnya. Namun, jangan mutlak seperti pipa penyalur air yang rela terkubur tanah selama-lamanya.



DPRD Jawa Barat?



Kalau DPRD di kabupaten dan kota bersahabat, juga DPR-RI, ternyata sejumlah anggota DPRD Jawa Barat kemudian terungkap banyak yang tidak menyetujuinya.

Ironisnya, malah beberapa anggota DPRD yang mewakili daerah pemilihan Provinsi Banten justru menghambat pembentukan Provinsi Banten. Ah, yang bener? Begitulah kata koran.

Kini, setelah Banten jadi provinsi, dan para anggota DPRD I Jawa Barat yang dulu menghambat itu? Mereka memang “hijrah” secara otomatis. Tidak salah, tetapi moralitasnya bagaimana? Barangkali, para wakil rakyat itu punya dalil begini : “Lebih baik bersikap tidak kemudian ya daripada bersikap ya kemudian tidak. Begitukah?

Jumlah anggota DPRD Jawa Barat yang “hijrah” otomatis itu ada 16 orang, di antaranya 4 anggota saja yang berasal dari Banten. Dengan demikian, anggota DPRD Jawa Barat yang mewakili daerah pemilihan Banten ada 12 orang.



Sikap Para Bupati



Maraknya aksi demonstrasi penyaluran aspirasi ke DPRD disaksikan, terasa oleh para bupati dan walikota di Wilayah I Banten? Benarkah para bupati dan wali kota itu pasif saja? Bisa benar begitu.

Pasalnya, Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana ketika maraknya tuntutan pembentukan Provinsi Banten itu minta agar para bupati atau wali kota tidak besikap, artinya tidak mendukung dan tidak pula menyeponsori, kecuali harus mendengar dan mengamati perkembangan secara objektif.

Gubernur Nuriana menyampaikan hal itu, antara lain, ketika didesak tanya wartawan mengenai semakin maraknya aksi demonstrasi tuntutan pembentukan Provinsi Banten. Namun, Pak Gubernur, beberapa bupati kemudian buka suara pula. Pad akhirnya mereka harus mendukung pembentukaan Provinsi Banten itu sejak dini.



3. EMPAT OKTOBER BERSEJARAH



Hari Libur Tidak Resmi



Tibalah saatnya, rapat paripurna RUU Pembentukan Provinsi Banten akan digelar di DPR, pada tanggal 4 Oktober 2000. Rakyat Banten dari berbagai strata dan kalangan spontan mempersiapkan diri berangkat ke Jakarta, baik naik truk, naik kendaraan pribadi, naik bus carteran, dan lain-lain, untuk menyaksikan Rapat Paripurna DPR.

Apa pun, bagi urang Banten, yang penting sampai di Jakarta. Pusat pemerintahan di kabupaten dan kota nyaris sepi, karena PNS-nya banyak yang berangkat ke Jakarta. Praktis, tanggal 4 Oktober 2000 itu laiknya hari libur. Apalagi para PNS itu ngikutin babe. Bupati/Walikota dan Ketua DPRD berangkat pula ke Jakarta.

Halaman gedung DPR-RI, semakin siang, semakin padat pengunjung. Praktis, kelompok-kelompok demonstran lain di halaman gedung DPR-RI (maklum, zaman aksi demonstrasi), pada hari itu, “tenggelam” oleh “lautan” massa rakyat Banten.

Waktu menjelang zuhur, RUU Pembentukan Provinsi Banten disahkan. Rapat paripurna DPR yang diketuai Haji Soetardjo Soerjogoeritno (PDI-P) ditutup setelah palu diketuk. Maka, berhasillah Banten diperjuangkan jadi provinsi setelah melewati pasang surut perjuangan selama 47 tahun (1953 – 2000). Tepuk tangan meriah pun bergemuruh di ruang sejuk ber-AC itu

Berikutnya, RUU Pembentukan Provinsi Banten itu disahkan jadi undang-undang (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000) setelah ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid, 17 Oktober 2000, sampai akhirnya diumumkan melalui Lembaran Negara Nomor 128/2000.

Jadilah Banten provinsi yang ketiga puluh. Maka, hari jadi Provinsi Banten, enaknya tanggal 4 Oktober 2000 atau tanggal 17 Oktober 2000? Bedanya, yang pertama punya nilai historis, sedangkan yang kedua punya nilai formalis. Begitu?

Pada Rapat Paripurna DPR-RI, saat fraksi-fraksi menyampaikan pendapat akhir, menarik sekali pendapat dari PPP yang mengadopsi ayat Alquran agar Banten berarti baldtun thayyibtun (negeri subur makmur). Hadirin yang memadati ruang rapat paripurna DPR pun bertepuk tangan panjang yang nyaris tidak berkesudahan.

Maka, siapa saja yang paling berjasa? Inilah hasil kerja sama antargenerasi. Generasi pertama mewariskan perjuangan kepada generasi berikutnya. Ada kaitan benang merah di antara generasi itu. Satu generasi merasa jadi ahli waris generasi sebelumnya. Indah sekali. Ada kesinambungan antargenerasi.

Juga, kekompakan daerah dan pusat sangat menunjang keberhasilan perjuangan pembentukan Provinsi Banten itu. Kegagalan perjuangan pembentukan Provinsai Banten terdahulu, salah satunya, tidak direstui Pemerintah Pusat.



“Irama Gendang” Rakyat Banten



Inilah miniatur rakyat Banten di halaman parkir gedung DPR, 4 Oktober 2000. Inilah pula dukungan nyaris tanpa batas terhadap pembentukan Provinsi Banten. Mereka hadir mewakili kelompok atau pasukan masing-masing.

Ulama, pendekar, birokrat, politisi, mahasiswa, dan aktivis bersatu, larut dalam kegembiraan yang sama : satu rasa, satu suara, dan satu usaha karena RUU Pembentukan Provinsi Banten disahkan wakil mereka di DPR. Anak-anak muda, dengan peralatan musik seadanya bernyanyi-nyanyi.

Di pojok sana, ibu-ibu menabuh rebana. Lain lagi di sebelah sana, sekelompok santri mengumandangkan salawat. Di tempat lain, ada orasi-orasi berapi-api. Tidak ketinggalan, warga Baduy pun hadir, khas dengan busana adat dan seni tradisional mereka.

Banyak yang bergaya di depan gedung DPR, difoto sebanyak-banyaknya dan bergaya segaya-gayanya. Sejumlah kades kemudian memajang foto aksi di depan gedung DPR itu di kantor masing-masing.

Di ruang sidang DPRI, para wakil rakyat yang gagah berpakaian resmi dan berdasi, yang duduk di kursi empuk,berpidato, berargumentasi manis tentang dukungan pembentukan Provinsi Banten.

Tidak satu pun fraksi yang menolak pembentukan Provinsi Banten. Semua setuju, semua menari mengikuti irama gendang yang dimainkan rakyat Banten. Kalau ada fraksi yan tidak setuju, padahal sah-sah saja, agaknya akan disoraki urang Banten.



Sujud Syukur



Ada tiga sujud dalam ajaran Islam (di luar sujud dalam salat) yakni sujud tilawah, sujud syukur, dan sujud sahwi. Di samping itu, masih ada lagi sujud yang lain yakni penghormatan, seperti halnya sujud para malaikat kepada Nabi Adam A.S ketika diperintah-Nya (Albaqarah : 30).

Sujud ini tidak sama dengan pengertian sujud dalam salat.Ketiga sujud itu, sujud tilawah dilakukan apabila mendengar atau membaca ayat-ayat Alquran tertentu, sujud sahwi dilakukan apabila kelebihan atau kekurangan rakaat salat, dan sujud syukur dilakukan apabila memperoleh nikmat yang luar biasa atau terhindar dari musibah yang luar biasa. Sujud syukur itu, tidak perlu punya wudu, dan bole menghadap ke mana saja – tidak harus ke kiblat, karena bukan salat.

Boleh jadi, terbentuknya Provinsi Banten terbilang nikmat yang luar biasa, maka para ulama yang hadir di gedung DPR mengajak bersujud syukur. Sekaligus pula, sujud syukur itu sebagai penutup rangkaian acara yang digelar rakyat Banten di halaman gedung DPR

Maka, bersujudlah rakyat Banten, dipimpin para ulama, di halaman gedung DPR itu. Sebuah kebiasaan yang baik dan terpuji manakala memperoleh nikmat yang luar biasa atau terhindar dari musibah yang juga luar biasa.

Salah seorang tokoh pergerakan pembentukan Provinsi Banten, H. Tryana Sjam’un, S.E. usai sujud syukur, mengingatkan bahwa awal terbentuknya Provinsi Banten hakikatnya awal perjuangan rakyat Banten sendiri. Bagi konglomerat asal Pandeglang ini, generasi mudalah yang harus mengisi Provinsi Banten itu dengan berbagai pembangunan.



Di Situlah Nikmatnya Pejuang



Dukungan rakyat terhadap pembentukan Provinsi Banten tidak mendadak, tetapi juga berproses, hari demi hari, sehingga kemudian meluas, setidak-tidaknya di wilayah Banten. Hal yang sama berlaku juga di kalangan birokrat, konglomerat, penguasa, pengusaha, dan orang-orang papan atas lainnya.

Ada yang mendukung sejak awal, ada pula yang mendukung saat-saat dalam perjalanan. Ada yang mendukung sepenuh hati, ada yang mendukung setengah hati, ada pula yang mendukung tetapi berhati-hati.

Juga, ada yang mendukung mutlak setelah betul-betul Banten terwujud jadi provinsi. Ibarat sebuah pohon. Ada yang mencari benih, kemudian menanamnya.

Ada yang memupuknya, kemudian menyiramnya, dan memeliharanya, sampai berdaun, berbunga, dan berbuah. Ada yang sama sekali tidak ikut menanam, menyiram, memupuk, atau memeliharanya, tetapi kemudian diajak pula menikmati buahnya. Begitulah memang sebuah perjuangan.

Hasilnya untuk semua orang, meski perjuangannya dikerjakan sekelompok orang. Di situlah nikmat yang dirasakan pejuang. Orientasinya lebih cenderung pada kepuasan batin - meski mereka bukan ahli kebatinan. Tanyalah mereka yang amat aktif atau setengah aktif memperjuangkan Provinsi Banten, hari demi hari.

Pasti tidak akan ada yang meng-klaim hasil perjuangannya semata. Tidak pula klaim Uwes Qorny, Tryana Sjam’un, Farich Nachril, Chasan Sochib, Irsjad Djuwaeli, Ecky Sjahruddin, Aminuddin, L.M.L, Uu Mangkusasmita, Aceng Iskak, dan tidak seorang pun yang berani meng-klaim perjuangannya sendiri!

Apa pun, pohon itu kini mulai tumbuh, berdaun, berbunga, dan sebentar lagi subur berbuah – insya Allah. Banyak yang melirik karena tertarik. Pohon itu, tidak lain, bernama Provinsi Banten.

Jangan diganggu, jangan pula di”bonsai”kan.Kalau Provinsi Banten gagal, siapa tahu nanti di-merger-kan dengan provinsi lain, atas perintah Pemerintah Pusat misalnya.. Kalau merger dengan Provinsi Jawa Barat? Ah, …betapa malunya urang Banten!

Bebas Dari Tuduhan Nepotisme



Perjuangan rakyat Banten, bagusnya, tidak membebani Mendagri dan Otda yang kebetulan urang Banten. Baik mendagri dan otda-nya urang Banten maupun bukan urang Banten, agaknya, hasilnya akan sama saja : Banten jadi provinsi. Jadi, bukan karena faktor Soerjadi, melainkan faktor aspirasi rakyat Banten sendiri.

Dengan begitu, pembentukan Provinsi Banten akan bersih dari tuduhan nepotisme atau koncoisme, akan lepas dari buruk sangka mentang-mentang menterinya urang Banten, lalu Provinsi Banten dengan mudah dibentuk karena difasilitasi Mendagri dan Otda yang kebetulan urang Banten.

Apa pun, urang Banten harus berbangga dengan Surjadi. Betul, dia “produk” Orde Baru. Langkah demi langkah karier militernya “dipapah” Orde Baru. Juga, Soerjadi jadi gubernur DKI pada masa Orde Baru.

Lihat, dan kenyataannya Surjadi masih dipercaya Presiden K.H. Abdurrahman Wahid jadi mendagri dan otda justru pada hari-hari pembentukan kabinet yang diusahakan terdiri dari orang-orang bersih dan berwibawa. Jabatan mendagri bukan jabatan khusus. Banyak yang mampu jadi mendagri di negeri ini, tetapi Surjadi-lah yang dipilih. Soal mengapa Presiden Wahid memilih Surjadi, ini faktor Presiden Wahid sendiri yang bisa membedakan siapa saja orang Orde Baru yang menyimpang dan menyamping dan siapa-siapa saja orang Orde Baru yang tetap bersih dan berwibawa.

Sejumlah pejabat atau orang penting di pusat banyak yang berasal dari zaman Orde Baru, seperti Menteri Perikanan dan Kelautan Sarwono Kusumaatmadja, mantan sekjen Golkar yang pernah dua kali jadi menteri pada zaman Orde Baru. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Dr. Baharuddin Lopa pernah jadi anggota Komnas HAM bentukan Orde Baru. Jangan lupa, Presiden Wahid sendiri pernah jadi anggota MPR dari Golkar, pernah pula menyediakan “panggung” kampanye Golkar untuk Mbak Tutut di beberapa pesantren milik NU.

Soal ketika jadi anggota MPR dari Golkar, kata salah seorang pengurus PB NU K.H. Dr. Said Agil Siradj, selama itu sebenarnya Gus Dur terpaksa dan tersiksa.

Sekarang, pada saat-saat jadi presiden, Gus Dur mungkinkah pula terpaksa karena sebelumnya “dipaksa” sesuatu kelompok? Wallaahu a’lam!Menyoal dikhotomi Orde Baru dan Orde Reformasi, agaknya, tidak relevan, kecuali soal pemenggalan waktu saja. Ada plus dan minus pada setiap orde.

Namun, seberapa banyak minusnya atau plusnya pada setiap orde, orang bisa berbeda pendapat.Atau, mungkin ada juga yang men-stempel Orde Lama dan Orde Baru sebagai dua “Black Rezim”?

Oleh karena itu, soal terpenting, menyimpang atau tidak menyimpang, melanggar atau tidak melanggar selama menduduki jabatan atau berada pada lingkaran zaman Orde Lamas atau Orde Baru itu. Prof. Dr. Muladi gagal diangkat jadi Ketua Mahkamah Agung (MA), kabarnya, korban dikhotomi Orde Baru dan Orde Reformasi?

Sangat menarik isi pidato perdamaian Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, pada Jumat malam (dibacakan Wimar Witoelar). Presiden Wahid antara lain mengajak agar menghapuskan orde karena hanya menyebkan terkotak-kotaknya perjalanan bangsa ini. Begitu seruan Presiden Wahid.

Kini, agaknya, yang enak tanpa beban, adalah pemenggalan periode Indonesia sebelum merdeka dan Indonesia sesudah merdeka saja, seperti dikatan Guntur Soekarnoputrra, suatu hari. Setuju?



4. GUBERUR JABAR DAN “GUBERNUR” KPPB



Kawan Berpikir



Hampir tidak ada gagasan tanda reaksi, baik reakasi itu berupa dukungan maupun berupa tantangan. Uwes Qorny meladeni semua reaksi terhadap gagasannya itu dengan tenang, dengan menggebu-menggebu, juga dengan amarah, dan sewaktu-waktu sama sekali tidak menanggapinya.

Karakteristik temperamental tingginya memang sulit dipisahkan, dan Uwes Qorny jarang sekali menampilkan sisi gagasan atau reaksi flamboyant. Pembawaannya yang sudah begitu, ditambah dengan tempaan-tempaan yang keras sepanjang perjalanan perjuangannya, boleh jadi lebih mengukuhkan karakteristiknya itu.

Nama qorny (bahasa Arab), yang artinya tandukku itu, apakah memang turut membentuk kepribadiannya, sehingga maunya “menanduk” saja, “memberontak” saja, dan bukannya melawan atau membelai dengan senyumnya?

Nabi Muhammad S.A.W. punya empat sahabat (yang kemudian jadi khalifah) dengan karakteristik yang berbeda-beda. Lain Umar yang keras (bukan kasar), lain pula Abu Bakar yang flamboyant.

Sekiranya Uwes Qorny menyerap karakter sahabat Nabi Muhammad S.A.W, boleh jadi, lebih cenderung kepada Umar, soal kerasnya itu. Soal salehnya, Uwes Qorny sendiri mengaku tidak sanggup menyamainya.

Keberagaman karakter dalam sebuah komunitas memang perlu. Kalau semua sama, itu ibarat paduan suara, ibarat grup vokal, yang enak didengar, tetapi belum tentu enak untuk sebuah manajemen.

Dalam sebuah keberagaman, ditengah-tengah maraknya ragam wacana, bagi Uwes Qorny, perbedaan pendapat itu ibarat gesekan dan gosokan padi yang kemudian jadi beras, dan enak dimakan.

Bagi Uwes Qorny, apa pun, kawan dalam berfikir dan lawan dalam berpendapat itu suatu ungkapan indah, dan perlu ditumbuhkembangkan. Dalam menyikapi persoalan, Uwes Qorny memilih lebih baik mengatakan tidak kemudian ya dari pada mengatakan ya, kemudian tidak.

Meski begitu, tidak jarang pula, Uwes Qorny mengatakan tidak kemudian tidak, dan akhirnya tidak. Sama, tidak jarang pula kali pertama mengatakan ya, kemudian ya, dan akhirnya ya.Titik.

Uwes Qorny, kalau berbicara, apalagi dengan anak buahnya, sangat kental dengan logat Banten-nya, dengan logat Lebak-nya. Kepada anak-anak KUMALA, Uwes Qorny biasa memanggil dararia (kamu semua).

Asal Konstitusional dan Demokratis



Uwes Qorny mengingatkan pula agar membedakan antara perbedaan pendapat dan pertentangan pendapat. Kata Uwes Qorny, kita harus berbeda, tetapi tidak boleh berseteru. Perbedaan itulah yang hakikatnya menjadi sebuah taman indah karena di dalamnya ada beragam kembang dengan beragam warna. Merah berbeda dengan biru, sama halnya hijau berbeda dengan kuning.

Demikian pula putih berbeda dengan abu-abu. Berkumpullah semua di taman, itu akan jadi susunan warna yang indah, sedap dan sejuk dipandang mata. Tetapi, kalau merah, kuning, hijau, dan biru berselisih atau berseteru, itu akan jadi laknat, bukan jadi rahmat. Kita membenci manusia “balon” warna-warni. Pasti!

Perselisihan pendapat antara Uwes Qorny dan Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana dalam soal Provinsi Banten bukan rahasia lagi. Gubernur H.R. Nuriana tidak mengizinkan Banten “merdeka” dari Provinsi Jawa Barat dalam waktu dekat, dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri, dengan dukungan-dukungan sejumlah sesepuh Jawa Barat sendiri.

Gubernur Nuriana seorang keras kepala? Sebagai seorang bapak Jawa Barat, Gubernur Nuriana akhirnya hanya menyerahkan persoalannya kepada masyarakat Banten sendiri. “Boleh, asal konstitusional dan demokratis”, kata Gubernur Nuriana ketika didesak tanya wartawan dalam berbagai kesempatan.

Kabar dari Gedung Sate, sebenarnya Gubernur Nuriana lebih senang memekarkan dulu kabupaten di Banten dari pada melepaskan Banten jadi provinsi.

Tentang Uwes Qorny? Disinilah dia “menanduk” tesis Gubernur Nuriana. Bagi Uwes Qorny dengan “gerbong” KPPB-nya, Banten jadi Provinsi dulu, kemudian pemekaran kabupaten-kabupaten di Banten.

Sebenarnya, pendapat keduanya bertemu : Banten laik jadi provinsi, tetapi soal waktulah yang jadi perdebatan panjang. Gubernur Nuriana ingin mengawali dari pemekaran kabupaten dulu, kemudian jadi provinsi suatu hari, tetapi Uwes Qorny mengawali pembentukan Provinsi Banten dulu, kemudian pemekaran kabupaten.

Gubernur Nuriana terus memantau perkembangan, hari demi hari, sampai akhirnya ikhlas melepaskan Banten jadi provinsi sendiri. Soalnya, ternyata memang begitulah kehendak mayoritas rakyat Banten. Suara dari “akar rumput” biasanya lebih nyaring terdengar, dan lebih didengar. Pembentukan Provinsi Banten itu sendiri berorientasikan kesejahteraan, bukan kekuasaan.



Buktinya, Bercanda



Gubernur Nuriana marah karena “kalah” suara? Seorang ayah melihat anaknya sudah dewasa, dan yakin bisa berdiri sendiri, tidak ada ucapan lain kecuali “Selamat jalan, selamat berjuang!”.

Gubernur Nuriana, sebagai konsekuensi logis terbentuknya Provinsi Banten, kemudian rela menyerahkan bantuan, sebagai dana awal pembangunan Provinsi Banten, seperti dilakukannya sendiri di Kantor Gubernur Provinsi Banten, Kabupaten Serang, pekan terakhir November 1999 lalu.

Kalau Gebernur Nuriana marah, hakikatnya, bisa saja penyerahan bantuan itu diwakilkan kepada pejabat bawahannya, bukan? Pundung, misalnya. Juga, kalau Geberunur Nuriana marah, bisa saja mewakilkan kepada pejabat bawahannya ketika melantik Bupati Pandeglang H. Ahmad Dimyati Natakusumah.

Tetapi, kenyataannya, malah Gubernur Nuriana berkelakar dalam sambutan pelantikan bupati kedua termuda di Provinsi Banten itu (Haji Ahmad Dimyati Natakusumah, ketika itu berusia 34 tahun). “Saya mau melantiknya, karena sampai saat ini Banten belum diserahterimakan. Kalau sudah diserahterimakan, saya tidak berani,” kata Gubernur Nuriana, tersenyum, dan disambut senyum hadirin. Juga tepuk tangan.

Beberapa hari berikutnya, Provinsi Banten resmi punya Gubernur (pjs), Drs. H.M. Hakamuddin Djamal, hasil penunjukan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid atas usulan Mendagri dan Otda.

Maka, bagi Uwes Qorny, Gubernur Nuriana adalah kawan dalam berpikir dan lawan dalam berpendapat. Begitulah, Gubernur Nuriana dan “Gubernur” KPPB itu kawan di meja makan dan lawan di meja biliar – kalau memang Uwes Qorny hobby menjotos bola biliar itu. Tahunya, hobby Uwes Qorny tidak lain main gaple. Suatu ketika Gubernur Nuriana dan “Gubernur” KPPB berpendapat sama, menentukan sikap yang sama.

Kalau kemudian ada yang menyimpulkan pernah ada konflik antara Gubernur Nuriana dan “Gubernur” KPPB, itu bisa dibenarkan pula, dan diakui Uwes Qorny sendiri. Tepatnya, konflik urang Banten dan Gubernur Nuriana? Dan, konflik itu berakhir dengan husnu ‘l-khatimah, ya?Ω

Tidak ada komentar: