NYANYI PAGI DI BAWAH POHON KENARI
Burung-burung bernyanyi-nyanyi
pada ranting dan dahan kenari.
Mereka bernyanyi-nyanyi mendendangkan kebebasan,
sambil menyambut hangatnya matahari pagi.
Nyanyian pucuk kenari,
nyanyian pagi burung kenari,
nyanyian hati yang damai di tengah sepoi angin pagi.
Kini, tak ada lagi kenari
di jantung Kota Rangkasbitung.
Tumbang
atau memang sengaja ditumbangkan.
Entah siapa penanam kenari.
Lalu, jantung kota Rangkasbitung dihijaukan.
Bukan dengan kenari, melainkan dengan deret palm
di sepanjang jalan di jantung kota,
juga di seputar alun-alun.
Bakal sekokoh kenari tempat
bermain dan berteduh anak-anakkah?
Anak-anak zaman kini perlu diajari lebih jauh makna keteduhan,
jauh dari sekadar rasa teduh
di bawah pohon kenari atau di bawah pohon palm!
Kini pula,
jantung kota sudah berhiaskan ”pepohonan” lain,
yang terang menyela, kala malam tiba.
Kenari sudah tak ada, palm sudah tak ada
Yang ada, sinar matahari pagi yang tak pernah ingkar janji.
1. DENGAN ANAK-ANAK RANGKASBITUNG
Rangkasbitung Aman
Hari-hari di jantung Kota Rangkasbitung hari-hari aman dan nyaman. Tidak ada desing peluru dan pengungsian demi pengungsian seperti di Malingping. Ternyata, memang, lain jantung kota Rangkasbitung, lain pula jantung kota Malingping yang penuh gejolak dan orang galak (penjajah).
Kalau sore hari tiba, Uwes Qorny dan kawan-kawan bermain-main di bawah pohon kenari sambil menunggu dan menunggu buah kenari jatuh ditiup angin. Mereka ramai-ramai memungutnya.
Uwes Qorny berangan-angan, orang dewasa yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan harus punya kebangaan, misalnya, dengan diwujudkan dalam lirik lagu “Rangkasbitung kota paling aman/Tempat para pahlawan beristirahat menyusun kekuatan”.
Bung Karno di Pohon Kenari
Uwes Qorny dan kawan-kawan akrab dengan pohon kenari tempat bercanda dan ketawa, tempat bermain dan bergurau. Teduh, tidak khawatir tertimpa buah kenari karena memang kecil. Jantung Kota Rangkasbitung, ketika itu, laiknya taman kenari.
Ada pohon-pohon tinggi dan besar di jalan seputar jantung kota itu. Pada sebuah pohon, terpasang foto Presiden Soekarno berukuran besar. Latar belakang foto itu warna merah putih.
Uwes Qorny amat terkagum-kagum pada foto itu. Ingin sekali tampil gagah seperti Presiden Soekarno, tetapi mustahil – seperti diakui Uwes Qorny sendiri kemudian. Foto besar di pohon kenari itu selalu ditatapnya kalau bermain-main di bawah pohon kenari. Semakin hari, semakin kagum. Gagah dan berwibawa, seperti tercermin pada busananya.
Memukau dan Membakar Semangat
Seorang anak laki-laki berusia 10-an tahun, bercelana pendek, ikut berbaris di pojok alun-alun Rangaksbitung, Kabupaten Lebak. Ketika hadirin bertepuk tangan, anak itu pun ikut bertepuk tangan. Hadirin terbius, terpukau, berpesona mendengar pidato berapi-api Presiden Soekarno, pada awal tahun 1950-an.
Siapa anak laki-laki yang bercelana pendek, yang duduk di pojok alun-alun Rangkasbitung, dan ikut bertepuk tangan itu? Dialah Uwes Qorny. “Sungguh, saya terpesona mendengar pidato Presiden Soekarno,” kata Uwes Qorny kemudian, ketika menceritakan kembali pengalamannya.
“Sungguh, saya terpesona oleh gaya pidatonya,” kata Uwes Qorny lagi, yang sempat berusaha meniru gaya pidatonya itu - tetapi tidak kesampaian. Bung Karno sempat salat Jumat di masjid agung Rangkasbitung. Uwes Qorny pun ikut salat Jumat.
Uwes Qorny masih ingat betul pesan Persiden Soekarno kepada warga Banten dalam pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Sunda - dan seperti biasanya tanpa teks itu.
“Urang Banten, ulah jadi bangsa peuyeum!” seru Presiden Soekarno, disambut yes dan gemuruh tepuk tangan hadirin, termasuk Uwes Qorny yang belum tahu maknanya lebih jauh.
Pesan Presiden Soekarno agar warga Banten jangan jadi bangsa peuyeum (tetapi tidak salah kalau doyan peuyeum), diakui Uwes Qorny, sangat mempengaruhi jiwanya, membakar semangatnya.
Oleh karena itu, ketika menghadapi perjuangan pembentukan Provinsi Banten misalnya, Uwes Qorny tidak berbekal mental peuyeum, tidak pula berbekal mental leumeung (kue beras), atau mental pasung (kue manis dari tepung beras), tetapi berbekal mental baja PT Krakatau Steel , Cilegon.
Kelompok Anak Masjid
Di samping bersekolah di SD (SR), Uwes Qorny masuk pula madrasah, di Alhidayah Islamiyah, Gang Kibun. Gurunya, antara lain, Ustaz Tohir, Ustaz Umar, dan Ustaz Syuhada. Muridnya sekitar 40 orang.
Uwes Qorny terkesan oleh dua anak yang amat rajin, tidak pernah bolos masuk madrasah : Iyet Afifi (cucu Haji Abdul Hadi) dan Badri (H. Achmad Bdri Maulana, B.A., kini Ketua KPU Lebak), yang biasa dipanggil Endud, cucu Haji Abdul Hadi.
Tidak cukup belajar di SD dan belajar di madrasah, Uwes Qorny dan anak-anak seusianya, ketika itu, belajar pula mengaji dan menghapal Alquran. Pria dan wanita dipisahkan. Pria mengaji di rumah Ustaz Syuhada dan perempuan mengaji di rumah Embah Bani.
Kalau bulan Ramadan tiba, kegiatan pengajian dihentikan karena dialihkan ke masjid. Maka, ramailah masjid dengan kegiatan anak-anak, baik dengan pengajian maupun dengan salat tarawikh. Puncak keramaian terutama terjadi pada 10 hari terakhir Ramadan.
Oleh karena banyaknya anak-anak masjid, maka lahirlah semacam kelompok anak masjid yang beranggotakan sekitar 10 orang. Ketuanya, Ucin Muhsin. Karena nama itu kurang pas untuk seorang ketua, maka Ucin Muhsin diganti dengan nama Mohammad Gifni. Keren!
Uwes Qorny jadi anggota “gang” itu. Anggota “gang” masjid yang masih diingatnya, antara lain, si Kancil alias Jamhari, Iyet Afifi, Badri, Buncing, Otot Sukanta, Samsudin, Maman Sulaiman, dan lain-lain. Anggota kelompok itu nyaris jarang tidur di rumah masing-masing, karena lebih banyak tidur di rumah ketua, Mohammad Gifni, di Kaum Pasir.
Kalau Ramadan tiba, markas mereka pindah ke masjid, di alun-alun. Biasa, kalau Ramadhan tiba, banyak makanan yang diberikan jamaah masjid, terutama pada 10 hari terakhir Ramadan.
Uwes Qorny ditugasi sang komandan menerima kiriman baskom yang berisi kiriman kue dari jamaah, kemudian dikumpulkan di tempat tertentu. Begitulah, satu atau dua kiriman baskom dibelokkan ke belakang mimbar, untuk kemudian jadi santapan anggota “gang” masjid sendiri.
Hockey dan “Hihid”
Udara Rangkasbitung terbilang gerah. Oleh karena itu, banyak “hihid” (kipas nasi) di masjid. Pada waktu salat Jumat, misalnya, jamaah mengipas badan dengan “hihid” itu biar terasa sejuk. Kalau Jumat usai, “hihid” itu dikumpulkan Mang Zairin, khadam masjid, untuk kemudian digunakan lagi pada hari Jumat berikutnya.
“Hihid” yang banyak itu ternyata memicu gagasan kelompok masjid untuk bermain hockey. Bolanya, bola pingpong (bola tenis meja). Bermain hockey-lah anak-anak masjid itu dengan alat pemukulnya “hihid” itu.
Akibatnya, “hihid” cepat rusak. Kalau sudah rusak, mudah saja, anak-anak mengambil lagi “hihid” yang baru, dan rusak lagi. Ketua DKM Masjid, Uwa Syamsuri bingung, betapa “hihid” amat cepat rusak, padahal hanya digunakan enteng-enteng saja setiap Jumat.
Uwa Syamsuri mengusut kerusakan “hihid” itu. Hasil pengusutan, ternyata otak kerusakannya tidak lain cucu Uwa Syamsuri sendiri. Nah! Bagaimana caranya “menghukum” si cucu?
Dari Kenari ke Beringin
Seorang pedagang asongan ingin berteduh di bawah pohon beringin. Sebelumnya, pedagang asongan ini ngomel, dan mengejek. “Kamu ini, pohonnya saja yang besar, tetapi buahnya kecil”.
Beristirahatlah si pedagang asongan itu di bawah rindangnya pohon beringin. Angin yang berembus lembut sekali. Udara terasa sejuk, sehingga mengantuklah pedagang asongan itu, kemudian tidur nyenyak. Angin terus berembus, menyapu daun beringin, dan mengantarkan pedagang asongan itu ke alam mimpi indah.
Ceritanya, jatuhlah sebutir buah beringin, persis ke atas hidung pedagang asongan tadi. Kontan saja, pedagang asongan ini bangun, dan spontan pula bersyukur. “Alhamdulillah. Kalau buahnya besar, betapa akan hancur berantakan hidung saya yang memang pesek ini”. Ya, bersyukur, padahal sebelumnya ngomel dan mengejek.
Semua terserah Anda, mau menafsirkan apa atau bagaimana dongeng beringin itu. Sastrawan, wartawan, politisi, ulama, atau insinyur pertanian akan punya tafsir yang berbeda-beda – tergantung sudut pandang masing-masing.
Apa pun, pohon kenari dan pohon beringin sama-sama besar dan buahnya sama-sama kecil. Bedanya, kalau pohon beringin diadopsi jadi lambang institusi atau partai, sedangkan pohon kenari tidak, atau mungkin belum!
Beringin ada lagunya, berjudul “Pohon Beringin”, dinyanyikan Tetty Kadi, (dan pernah jadi alat kampanye), sedangkan kenari dinyanyikan Koes Bersaudara dengan judul “Burung Kenari”.
Semasa kecil, Uwes Qorny senang bermain-main di bawah pohon kenari. Sesudah dewasa, Uwes Qorny “bermain-main” di bawah pohon beringin - kini jadi lambang parpol. Ketika berada di sini, Uwes Qorny merasa teduh seperti di bawah pohon kenari, atau memang gerah seperti udara Rangkasbitung?
2. MEMBACA
Jadi Anggota Perpustakaan
Siapa pun pernah membaca. Soal kemudian membaca itu jadi hobby atau sekadar pengisi waktu, itu soal lain. Siapa pun pernah membaca, soal kebiasaan membaca itu dilakukan sejak kecil atau setelah dewasa, itu soal lain pula. Alangkah baiknya kalau punya kebiasaan membawa buku ke mana-mana, dan dibaca kalau ada waktu senggang.
Di Rangkasbitung, tempo hari, membaca buku di bawah pohon besar yang rindang, di bawah nyanyi-nyanyi pucuk kenari misalnya, jadi kesenangan tersendiri. Anak-anak SD sering melakukannya, setidak-tidaknya pada hari-hari sedang ulangan umum.
Uwes Qorny ditakdirkan punya hobby membaca sejak kecil, sejak bisa membaca dan menulis. Lebih dari itu, malah Uwes Qorny jadi anggota perpustakaan yang dikelola Kasi Pendidikan Masyarakat, Depdikbud (kini Diknas) Kabupaten Lebak. Belakangan, Uwes Qorny sendiri mendirikan perpustakaan, diberi nama Perpustakaan Umum Saija & Adinda.
Juga Koran dan Majalah
Buku-buku yang dibaca Uwes Qorny beragam, seperti buku roman, buku sastra, dan buku pengetahuan umum. Buku-buku terbitan Balai Pustaka amat disukai Uwes Qorny, misalnya buku-buku karangan pujangga Angkatan Baru seperti Armijn Pane, Sutan Takdir Ali Syahbana, Idrus, Abdul Muis, Hamka, dan lain-lain.
Buku sastra Sunda pun tidak dilewatkan, seperti buku Jatining Sobat. Kabupaten Lebak, sebenarnya punya sastrawan Sunda, Mas Ace Salmun, kelahiran Rangkasbitung. Mas Ace Salmun, tampaknya lebih terkenal di Bandung daripada di Rangkasbitung. Namanya, diabadika jadi sebuah jalan, Jalan M.A. Salmun, yang merupakan “sirip ikan” Jalan Multatuli.
Buku karya pengarang asing dilalap juga, seperti karangan Mark Twain. Sehari, rata-rata Uwes Qorny membaca buku 2 buah atau 3 buah. Di samping membaca buku, Uwes Qorny pun melalap majalah dan koran.
Dari ratusan murid SD di Rangkasbitung ketika itu, Uwes Qorny satu-satunya orang yang berlangganan Kuntum Mekar, koran anak terbit harian Pikiran Rakyat. Kini, Pikiran Rakyat punya anak terbit di Banten, Fajar Banten. Uwes Qorny pun berlangganan Suluh Pelajar yang dipimpin sastrawan Sunda, Ayip Rosidi (kemudian jadi guru besar di Jepang).
Beberapa harian dibaca pula Uwes Qorny. Surat kabar Pedoman yang dipimpin Rosihan Anwar, harian Abadi yang dipimpin Suardi Tasrif, dan Indonesia Raya yang dipimpin Mokhtar Lubis, tidak asing lagi bagi Uwes Qorny.
Salah seorang wartawan Indonesia Raya ketika itu adalah Atma Kusumah Astra Atmadja, orang Rangkasbitung, dan pernah jadi ketua Dewan Pers. Atma Kusumah pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay dari Philipina atas prestasinya dalam perjuangan kemerdekaan pers (tahun 2000).
Juga Membaca Diri Sendiri
Bacaan demi bacaan dari surat kabar, ternyata kemudian membentuk Uwes Qorny jadi aktivis. Maklum, surat-surat kabar ketika itu mendorong aksi pergerakan, terutama pergerakan politik. Harian Abadi, misalnya, didukung Masyumi, sedangkan Indonesia Raya dan Pedoman didukung kaum sosialis (PSI).
Berawal dari Hobby membaca pula, Uwes Qorny kemudian mendirikan perpustakaan umum Saija dan Adinda di Rangkasbitung. Di samping itu, pilihan pada Fakultas Publisistik, Unpad, Bandung, dipengaruhi pula hobby membaca media masa cetak sejak kecil
Dari hobby membaca pula, Uwes Qorny kemudian lebih banyak membaca diri sendiri, juga sering membaca “permainan” orang lain, misalnya, dalam menghadapi pemilihan gubernur Banten.
Uwes Qorny pun piawai membaca permainan lawan dalam pertandingan sepak bola. Apa pun, hobby membaca amat bermanfaat. Sebuah sisi baik Uwes Qorny yang perlu ditiru dan digalakkan orang tua terhadap anak-anaknya zaman sekarang. Orang-orang sukses, biasanya, punya hobby membaca. Buku itu jendela budaya, seadngkan koran jendela informasi.
Adakah Sesuatu yang Salah?
Anak-anak tidak perlu lagi membaca, sebab cukup dengan telinga dan mata ketika memantau tayangan demi tayangan televisi.Anak-anak zaman kini, lebih banyak diperkenalkan pada komik Jepang atau film khayalan ilmiah produksi Amerika Serikat.
Mereka lebih banyak mengenal Dora Emon daripada si Kabayan, lebih terpesona oleh Superman daripada si Pitung dari Betawi. Dalam pergaulan anak-anak, mereka lebih banyak membicarakan dunkin donut daripada leumeung, lebih banyak membaca iklan pizza daripada pasung, dan lebih mudah teringat pada kentucky fried chicken daripada gogodoh kotok.
Adakah yang salah? Adakah yang perlu diperbaiki mengingat isu nasionalisme yang kian memudar? Atau, biarkanlah semua berlalu seiring waktu karena pada akhirnya anak-anak akan menentukan pilihannya sendiri?
Anak-anak pada zaman Uwes Qorny, lain dengan anak-anak pada zaman kini. Kalau dulu mereka akrab dengan main “Gobag” atau “Ambil-Ambilan”, maka anak-anak zaman kini lebih terpaku di depan layar televisi dengan ber-game ria atau asyik dengan permainan elektronik lainnya. Hiburan atau permainan untuk anak-anak zaman kini memang mahal. Semua serba teknik dan elekronik.
Kini, bahkan anak SMP pun sudah melengkapi dirinya dengan telepon genggam. Bersepeda motor pula. Pada Sabdu malam, misalnya, gaya-gaya ABG anak-anak usia SMP bisa disaksikan di seputar alun-alun Rangkasbitung.
Terkadang, dan yang membuat banyak tokoh agama risih : tampak adanya pergaulan nyaris tanpa batas antara pria dan wanita. Di sudut-sudut remang-remang, di luar alun-alun Rangkasbitung, sepertinya ada pergaulan yang tidak beres.
Maka, Adakah sesuatu yang salah dalam mengarahkan dan mengerahkan bakat anak-anak dari orang tuanya? Atau, biarkan mereka bertamasya dengan fantasinya di dunia global kini lewat media canggih elektroniknya. Anak-anak kita bertemu dengan sebuah budaya dan generasi yang boleh jadi tidak terbayangkan sebelumnya oleh para orang tua.
3. HARI-HARI ABG
Di SMP Negeri I Rangkasbitung
Seorang putra daerah peduli pada pendidikan. Pak Edi Junaedi, meski seorang berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi bercita-cita pula mendirikan SMP Negeri. Maka, lahirlah SMP Negeri I, tahun 1954, terletak di Jalan Multatuli, sampai kini.
SMP Negeri itu masih ada, dan salah satu sekolah pavorit di Lebak. .Kini, SMP (SLTP) ada di setiap kecamatan, bahkan di satu kecamatan ada beberapa SMP. Di kecamatan yang jauh, malah ada SMP terbuka.
Seperti lulusan sekolah HIS, MULO, dan AMS, Pak Edi pun fasih berbahasa Belanda. Ketika itu, SMP umum sudah ada di Rangkasbitung, di Jalan Letnan Muharam, didirikan pada tahun 1950. Bangunannya bekas SR IV.
Anak-anak yang bersekolah di SMP Negeri 1 umumnya orang Rangkasbitung, dan hanya sedikit saja yang berasal dari luar Rangkasbitung. Anak-anak SMP Negeri I terdiri dari anak-anak pribumi tentu saja, juga anak-anak nonpribumi pun (WNI keturunan Cina) .
Uwes Qorny masih hapal betul dua teman kakak beradik keturunan Cina dari Maja, Tan Yong Cung dan Tan Yong Wan. Kalau mereka bertiga bermain, justru Uwes Qorny yang dianggap anak si akew. Soalnya, kedua kakak beradik WNI keturunan Cina itu berkulit sawo matang, sama seperti anak-anak WNI keturunan Cina di Tangerang.
Memang, ketika masih kecil, Uwes Qorny dianggap anak Jepang (di Malingping), dan setelah jadi ABG dianggap anak Cina, atau orang menyebutnya si Akew. Sudah ada pembauran ketika itu, di Rangkasbitung, dan tanpa masalah.
Lulusan SMP Negeri I Rangkasbitung tahun 1950-an yang tampaknya berhasil, dan menjadi pejabat, antara lain, Supardjo, S.H. (UI, kakak kandung Uwes Qorny, dan pernah bertugas di beberapa kedutaan besar, antara lain, di Amerika Serikat), Drs. Yoyo Hudaya (IKIP), Prof. Dr. Herman Haeruman (Bappenas, kini rektor Universitas Mathlaul Anwar, Pandeglang), Brigjen H.M.A. Sampurna (Wagub Jabar), dr. Afifi (RSU Hasan Sadikin) dokter Bagja Waluya (Atase Kebudayaan di Kedutaan RI di Malaysia) Prof. Dr. Dody Nandika (Sekjen Departemen Pendidikan Nasional), dan Suganda Priatna (Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad). Dari kalangan perempuan yang berhasil, antara lain, Ida Farida Ayun (sutradara, adik Misbach Yusa Biran).
Uwes Qorny bangga dengan prestasi teman-temannya itu. Pada acara-acara tertentu, para lulusan SMP Negeri I Rangkasbitung sering berkumpul, di Rangkaasbitung, untuk sekadar bernostalgia. Mereka ingin mengenang kembali masa-masa kanak-kanak, selama di tanah air kelahiran.
Kelakuanku Merah
Seorang guru SMP Negeri I yang tampak berwibawa, Pak Aris Munandar. Keras dan amat disiplin. Suatu hari, Uwes Qorny cuek saja atas pidatonya. Uwes Qorny dipanggil, dan disuruh berdiri di samping Pak Aris Munandar.
Di sini, Uwes Qorny tampil seakan-akan sedang berpidato saja, tampil seperti Pak Aris. Meski jadi perhatian teman-temannya, Uwes Qorny cuek saja. Nasib. Nilai di raport kemudian ternyata angka merah, empat (4) , sebagai “imbalan” atas kelakuannya.
Sang ayah, setelah melihat nilai merah pada sektor yang amat strategis, kelakuan (akhlak), marah dan menegur keras Uwes Qorny. Angkanya mematikan pula, empat (4). Uwes Qorny insaf? Ah, hanya bisa nyengir saja. Dasar bengal!
Masih di SMPN I Rangkasbitung. Ada pengumuman di pintu sekolah, “Bahasaku bahasa Indonesia”. Setiap anak yang masuk wajib membaca pengumuman itu, dan wajib pula berbahasa Indonesia. Kalau sudah masuk kelas, kembali lagi berbahasa Rangkasbitung.
Bahasa Indonesia di kalangan anak-anak sekolah ketika itu, amat digalakkan karena bahasa nasional. Pak Guru mewajibkannya karena dianggap anak-anak sekolah Rangkasbitung lebih senang “berbahasa Baduy”.
Masih Merindukan Nyanyi Pagi Burung Kenari
Tamatlah sudah sekolah di SMP Serang. “Gang” Uwes Qorny ada yang meneruskan pendidikan ke Jakarta, Bogor, dan Rangkasbitung sendiri karena memang kebetulan sudah berdiri SMA.
Kawan-kawan Uwes Qorny yang meneruskan pendidikan ke luar kota itu, misalnya, Netty dan Yatiminah meneruskan pendidikan ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP). Koyum, Mulyono, dan Jaka Permadi meneruskan pendidikan ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Bogor, dan Siti Kaniah ke SGA Serang.
Kusnadi meneruskan sekolah ke kehutanan di Bogor dan Hidayat Bawadi meneruskan pendidikan ke sekolah kehakiman di Malang. Lalu ke mana Tutah Maftutah meneruskan pendidikannya? Ke SKTK di Jakarta bersama Wawa.
Siapa Tutah? Itu dia, anak gadis yang sering di-pacar-kan dengan Uwes Qorny. “Ah, padahal mah tidak demikian,” kata Uwes Qorny kemudian. Cinta bertepuk sebelah tangan, atau orang Sunda bilang “cau ambon dikorangan”? Meureun!
Di SMA Rangkasbitung yang baru berdiri, ada jurusan A, B, dan C. Uwes Qorny dan kawan-kawan memilih jurusan C (sosial ekonomi). Tidak tertarik mengikuti jejak teman-teman lain yang meneruskan pendidikan ke luar kota? Uwes Qorny memilih Rangkasbitung saja, kota yang “mengasuh”nya setelah “diasuh” Pantai Selatan. Rupanya, Uwes Qorny, masih merindukan nyanyi pagi di bawah pohon kenari.
Pidato Perpisahan
Dalam acara perpisahan, Uwes Qorny dipercaya berpidato untuk mewakili kelas III SMP Negeri. PD saja. Soalnya, ini kesempatan tampil di muka umum, tampil untuk meniru gaya pidato Bung Karno – barangkali.
Mengapa Uwes Qorny dipercayai mewakili kelas III? Soalnya, sebelumnya Uwes Qorny pernah tampil di hadapan para guru, berpidato, memakai celana pendek, pada acara muhibah SMPN Negeri I Rangkasbitung ke SMP Negeri Pandeglang.
Boleh jadi, para guru menilai, Uwes Qorny cukup cakap dan cakep kalau berpidato. Padahal, ketika berpidato di hadapan para guru itu, sebelumnya Uwes Qorny tidak pernah mempersiapkan diri, apalagi latihan berpidato.
Pelajaran berpidato, tidak ada dalam pelajaran formal, kecuali kalau kebetulan saja dipaksa keadaan. Para guru mempercayakan berpidato, sampai kini, kepada anak-anak yang sudah biasa saja.
Biasanya, keterampilan berpidato terasah dan terasuh kalau anak-anak aktif di organisasi, di OSIS misalnya. Perlukah berpidato dimasukkan dalam kurikulum?
Ah, tanpa pelajaran dalam kurikulum pun banyak yang kemudian jadi ahli pidato, orator, atau bahkan provokator. Orang yang fasih berpidato ketika itu, selain Ukat Induskat (kakak Uwes Qorny), juga Farid Mukim (pernah jadi ketua NU dan sekaligus ketua DPD Golkar Lebak).
Suatu hari, Abah - demkian Farid Mukim biasa dipanggil - mengaku bersyukur atas kepercayaan umat kepadanya. Soalnya, di Jawa Barat (dan Banten ketika itu masih ada di dalamnya), hanya ada satu-satunya orang yang merangkap jabatan ketua DPD Golkar yang sekaligus ketua NU setempat.
Hikmahnya, diakui Abah, Golkar dan NU amat mesra di sini, ketika itu, melebihi kemesraan di tempat lain.Abah pernah beberapa kali duduk di DPRD Lebak. Kini, Abah sudah meninggal dunia. Banyak orang yang terkenang, dan terkesan oleh pidato Abah yang menggebu-gebu, dan suaranya yang tinggi.
4. POLITISI KECIL
Menurunkan Palu Arit
Tubuh Uwes Qorny, agaknya, sudah dirasuki politik sejak kecil. Sudah tahu perbedaan makna bulan bintang dan palu arit. Semua itu, boleh jadi, berkat hobby membaca sejak kecil.
Suatu hari pada hari-hari kampanye pemilu 1955, ada gambar palu arit di atas sebuah pohon yang besar, di Balong Rancalentah. Darah politisi kecil ini naik, mendidih. Maka, naiklah Uwes Qorny ke pohon besar itu, dan mengganti palu arit (lambang PKI) dengan bulan bintang (lambang Masyumi).
Padahal, ketika itu, PKI termasuk organisasi peserta pemilu yang sah. Sebodo amat! Bangga sudah mampu menurunkan palu arit dan menggantinya dengan bulan bintang? Begitulah! Politisi kecil ini mulai beraksi “popolitikan”, meski belum tahu banyak – atau belum banyak tahu – tentang hakikat politik.
Khusus 17 Tahun ke Atas
Pada kesempatan lain, ada kabar bahwa Mister Kasman Singodimejo dari Masyumi akan berkampanye di Rangkasbitung, di bioskop Kami. Uwes Qorny memburu kampanye Masyumi itu. Semangat.
Sayang, tidak boleh masuk karena masih kecil. Mirip nonton bioskop, tertutup untuk anak-anak di bawah umur 17 tahun. Pidato kampanye itu khusus untuk 17 tahun ke atas. Uwes Qorny ingin masuk, misalnya mengaku sudah berumur 17 tahun? Ah, tidak mungkin karena tampak ABG.
Meski begitu, Uwes Qorny ngintip kampanye itu dari luar saja, menyimak pidato kampanye Mister Kasman Singodimejo. Uwes Qorny memahami pidato politik Mister Kasman Singodimejo? “Ah, suka saja,” kata Uwes Qorny kemudian. Orator yang dikagumi Uwes Qorny, K.H.M. Isa Anshary.
Hasil pemilu tingkat nasional ketika itu bagaimana? Pemilu yang diikuti puluhan parpol itu (mirip pemilu 1999 lalu) “mencetak” empat parpol besar : PNI, Masyumi, NU dan PKI. Di Lebak, Masyumi memperoleh suara terbanyak, 9 kursi dan PNI 8 kursi. Partai lainnya, seperti NU, PSII, IPKI, dan PKI hanya memperoleh 2 kursi.
Bioskop tempat kampanye itu kini sudah tidak ada, sudah berubah jadi hotel. Zaman kini, tidak ada lagi bioskop di Rangkasbitung, mungkin karena terdesak si Kotak Ajaib, “bioskop” yang masuk ke rumah-rumah.
Sekaligus saja, film atau iklan yang berbau esek-esek pun leluasa beraksi. Pengaruh negatif televisi lebih besar dari pengaruh negatif film bioskop? Belum ada penelitian.
Aduh,…Menginterogasi Pak Guru!
Anak-anak Pasukan Khusus (Passus) KAPPI “mengamankan” seorang guru, seorang kepala sekolah. Suatu pagi usai salat Subuh, Uwes Qorny diminta teman-temannya datang ke Polres Lebak untuk memeriksa Pak Guru itu.
Setelah diberi tahu, Pak Guru yang harus diperiksa itu ternyata bekas gurunya sendiri, dan selama ini selalu dihormatinya. Uwes Qorny mengaku berat sekali. Pak Guru itu sering berbaik hati, baik kepada dirinya maupun kepada teman-temannya.
“Kalau bukan karena panggilan kejuangan, saya tidak mau menginterogasi guru yang sebelumnya amat dihormati itu,” kata Uwes Qorny. Aduh,...harus menginterogasi Pak Guru!
Di ruang pemeriksaan Polres Lebak, Pak Guru yang akan diperiksa Uwes Qorny sudah ada, didampingi seorang polisi dari Satuan Intel Polres setempat. Polisi itu, ternyata lawan Uwes Qorny di lapangan hijau, namanya Memed (kini alm.). Di lapangan hijau jadi lawan, di kantor polisi, bolehlah jadi teman.
Pak Guru itu memang dilaporkan sering menyudutkan Angkatan 66 - dan karenanya “diamankan” Passus KAPPI. “Bahwa harga-harga naik gara-gara KAPPI. KAPPI itu seperti garong – suka menculik pada waktu tengah malam”. Demikian antara lain provokasi Pak Guru itu, seperti diungkapkannya, suatu hari, di hadapan anak-anak SMP II Rangkasbitung.
“Mengapa Bapak menghasut anak-anak sekolah seperti itu. Sebagai seorang pendidik, Bapak sebenarnya tidak perlu berbicara begitu, “ kata Uwes Qorny, dengan nada bertanya, sopan sekali. Tampak, kedua tangan Pak Guru gemetar, wajahnya pucat pula, setelah mendengar pertanyaan dari bekas muridnya ini. Boleh jadi, Pak Guru bingung menjelaskannya, susah menjawabnya, atau mungkin menyesal.
Apa yang terjadi di luar pada hari-hari berikutnya? Ternyata, isu berkembang bahwa Uwes Qorny memeriksa bekas gurunya. Ketika itu, banyak guru yang cemas akibat ulah politisi ABG ”Sandekala” ini. “Saya tidak berlaku berlebihan. Saya hanya bertanya saja, “ kata Uwes Qorny kemudian. Pak Guru itu, seorang kepala SMP II Rangkasbitung, yang – menurut Uwes Qorny – tampaknya pro-PNI dan berpaham Kejawen. Uwes Qorny sendiri, pro-Masyumi. Lihat saja, berani mengganti palu arit dengan bulan bintang, meski “interogasi” terhadap Pak Guru yang dihormatinya itu karena menyangkut klarifikasi Angkatan 66, bukan soal PNI atau Masyumi.
Islam Atau Pancasila?
Pak Guru itu mengajar sejarah di SMA Negeri I Serang, tetapi materi ulangannya ternyata politik. Uwes Qorny, sang politisi ABG ini mulai kritis. "Ah, biarlah, isi saja, tidak usah protes. Cukup jadi catatan saja, " pikir Uwes Qorny yang ketika itu masih duduk di kelas I.
Pertanyaan ulangan itu begini. Pertama, Saudara setuju mana, Islam atau Pancasila sebagai dasar negara? Pertanyaan kedua, Pemerintah sedang mengadakan ishlah (damai) dengan PRRI. Saudara setuju?
Ketika itu, di Bandung, memang sedang dibahas mengenai dasar negara, pada sidang konstituante. Hebat, anak-anak diajak berpikir politik, soal yang fundamental pula : dasar negara. Jawaban Uwes Qorny di kertas ulangan? Islam saja.
Sebab, menurut ijtihadnya, berdasarkan bacaan dari koran dan pidato-pidato politik M. Natsir, Hamka, dan K.H.M. Isa Anshary, Islam memelihara toleransi, Islam mengakui hak-hak pemeluk agama lain meski minoritas. Soal nomor dua, ishlah, Uwes Qorny menjawab setuju 100 persen.
Seminggu kemudian, kertas jawaban ulangan dibagikan, sekaligus pula Pak Guru mengumumkan perincian anak murid yang memilih Pancasila dan anak murid yang memilih Islam.
Hasil perincian itu, ternyata hanya seorang murid saja yang memilih Islam, tidak lain hanyalah Uwes Qorny. Berontakkah kemudian? Begitulah, tetapi cuma dalam hati. "Saya pikir, Pak Guru ini pasti simpatisan PNI. Sebodo amat. Saya ini anak sekolah, bukan partisan atau kader partai." kata Uwes Qorny.
Pak Guru itu, penilaian Uwes Qarny, kelihatan kental dengan etnik Jawa-nya. Materi sejarah yang diajarkannya, antara lain, sejarah Bizantium, Persia, Mesir Kuno, dan lain-lain. "Pak Guru, itu pertanyaan ideologi politik, bukan sejarah ?" seru Uwes Qorny, juga dalam hati.Soal ishlah, tidak ada masalah. Semua murid memilih jawaban yang sama, setuju, agar negara tidak terpecah-belah.
Oleh Karena Tidak Kompak
Tahun 1957 ada pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak. Calon kuatnya, A.M. Syadeli (kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Lebak) dari Masyumi dan Iko Jatmika (kepala Pendidikan Masyarakat Depdikbud Lebak) dari PNI, dan pernah jadi guru.
Pemilihan dimenangkan Iko Jatmika, meski di atas kertas A.M. Syadeli sudah terbaca punya peluang besar. Mengapa A.M. Syadeli kalah, Uwes Qorny diajari politik oleh kakaknya, Abu Naseh (Unin Syarifudin) dari Fraksi Masyumi, bahwa kekompakan antarpartai senafas itu perlu di parlemen. Buktinya, karena parpol Islam tidak kompak, antara lain karena faktor PSII, akhirnya jagoan dari Masyumi kalah dalam pemilihan.
Tidak ada aksi demonstrasi ketika itu, karena sang jagoan kalah? Tidak ada. Mereka lebih dewasa, lebih lega dada dalam berpolitik. Ketika itu, yang ada - barangkali - analisis kekalahan, untuk pelajaran dan pengalaman, bukan untuk pelampiasan dendam. Pelajaran yang harus dipetik : jabatan itu sebagai kehormatan untuk berbuat sesuatu bagi publik.
Dari sini, dari pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak ini, Uwes Qorny dikader politik sang kakak yang memang politisi Masyumi. Dalam soal politik, ketika itu, Uwes Qorny ibarat buah kenari, sedangkan sang kakak pohon kenarinya.
Setelah dewasa, buah kenari itu jadi pohon kenari juga, dan Uwes Qorny terjun ke dunia politik praktis, terutama semasa aktif di PII, Angkatan 66, dan seterusnya.
Boleh jadi, karena banyak membaca koran yang sarat dengan berita politik atau politik berita, lalu masuk ke Fakultas Publisistik, Uwes Qorny akhirnya terdorong juga senang berpolitik praktis.
Wartawan harian Indonesia Raya, Zen Amar, S.H. pernah memberi nasihat, “Anda menyentuh jurnalistik, pasti Anda akan merasakan hangatnya politik”. Kalau ingin merasakan panasnya politik campur duit, cobalah jadi demonstran bayaran. Anda bisa merasakan panas yang sebenarnya, panas sengatan matahari, atau terasa panas karena dikalahkan lawan. Panas yang terakhir ini, panas-nya bara nafsu, yang kalau tidak bisa dibendung, siapa pun Anda bisa membakar kantor parpol, pertokoan, kendaraan, dan lain-lain.
5. SI “KOBOY”
KA Rangkasbitung - Serang
Jangan dibayangkan sudah ada KA Merak Jaya di jalur Rangkasbitung – Serang (kini KA temewah di jalur Jakarta – Rangkasbitung – Merak itu sudah tidak ada lagi). Atau, jangan pula dibayangkan sudah ada kereta rel desel (KRD) atau kereta rel listrik (KRL) di jalur yang sama.
Satu-satunya KA yang menghubungkan Rangkasbitung - Serang (pergi pulang), pada tahun 1950-an itu, tidak lain si “Koboy” atau sebagian orang menyebutnya si “Gomar”.
Lokomotifnya berwarna hitam pekat. Lajunya mengandalkan kekuatan uap. Si “Koboy” dengan setia mengangkut penumpang setiap hari. Termasuk, di antara penumpang itu, puluhan ABG dari Rangkasbitung ke Serang. Mereka tinggal di Rangkasbitung, tetapi bersekolah di Serang. Maklum, ketika itu, di Rangkasbitung belum ada SMA.
Jadi Ketua Organisasi Penumpang KA
Uwes Qorny, salah seorang ABG itu, tergugah rasa keorganisasiannya ketika diajak bergabung mendirikan organisasi pelajar penumpang KA Rangkasbitung – Serang. Ketua pertamanya, Mulyadi, anak Mayor Dudung Padmasukarta.
Setelah itu, ketua dijabat Tamam, orang Kapugeran, berikutnya baru Uwes Qorny. Tidak lama (diserahkan kepada Iyet Afifi) karena pindah sekolah dari Serang ke Rangkasbitung, menyusul bedirinya SMA (1959). Sekadar jadi catatan saja, banyak penumpang yang kemudian jadi suami istri sebagai “berkah” jadi pelanggan KA Rangkasbitung – Serang.
Dari gerbong si “Koboy”, Uwes Qorny menimba pengalaman dan pelajaran tentang manusia dan kemanusiaan. Uwes Qorny terus bergerak, berorganisasi, sampai terakhir jadi “Lokomotif” KPPB, dan sukses menarik “gerbong” Banten bersama-sama tokoh dan rakyat Banten ke gerbang provinsi.
Uwes Qorny tidak sekadar melihat dan merasakan betapa rakyat biasa berjejal dalam angkutan KA, bisa melihat sesak dan mendengar desah “akar rumput”. Benar, nasihat seorang bijak, “Kalau ingin memahami demokrasi, duduklah sebentar saja bersama dengan Plato di perpustakaan dan duduklah lebih lama dengan rakyat di bus-bus kota”. Atau, duduklah lebih lama dalam KA yang sering dijejali penumpang, sehingga sewaktu-waktu gerbong KA itu samar : tempat ikan pindang atau tempat manusia.
6. NOSTALGIA SMA
Latihan Provokasi
Inilah latihan propaganda, latihan meyakinkan orang lain dengan modal pribahasa “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang lain”. Uwes Qorny mengajak teman-temannya pindah ke Rangkasitung karena SMA sudah dibuka. Uwes Qorny meminta kroninya, Toyo Rakhmat, mengedarkan sirkulir. Isinya, “propaganda”. Siapa-siapa yang siap pindah ke Rangkasbitung harus mengisi formlir. Lumayan, ketika itu, sekitar 30 orang “terprovokasi”, dan mau pindah ke Rangkasitung. Maka, sejak itu, puluhan anak sekolah tidak lagi pergi pulang naik KA Rangkasbitung – Serang, tidak lagi berangkat saat matahari terbit dan pulang saat matahari tenggelam.
Uwes Qorny punya peran besar di sini. Merasa dirugikankah pihak PT KAI? Entahlah! Yang jelas, anak-anak setidak-tidaknya bisa menghemat ongkos. Ini, persis ketika Uwes Qorny berjalan sendiri, tanpa fasilitas kendaraan atau sponsor, saat memprovokasi urang Banten yang laik bangkit lagi memperjuangkan pembentukan Provinsi Banten.
Rawayan Ria dan Tiva Nada
Di tengah-tengah kesibukan belajar di sekolah atau aktif di organisasi, Uwes Qorny dan kawan-kawan sempat pula mendirikan grup band, namanya Band Rawayan Ria. Jangan berharap untuk rekaman atau mencari duit. Ini pelampiasan hobby. Hiburan.
Pemainnya, selain Uwes Qorny, Ohim Ibrahim, Ujang Syakhri, Toyo Herano, Toyo Rakhmat, Indardi, Pelly Sutadidjaja, Suritno, Suharno, Otih, dan Ipah Afifah (dua yang terakhr ini kakak beradik).
Di mana saja mereka tampil? Di mana saja, termasuk di tempat perkawinan, khitanan, atau di tempat keramaian lain. Dibayar? Tidak. Gratis saja, cukup diberi makan sekenyang-kenyangnya.
Lagu-lagu yang dibawakan Rawayan Ria terutama lagu-lagu pop ketika itu, termasuk – misalnya – lagu “Burung Kenari”nya Koes Bersaudara. “Burung kenari/slalu bernyanyi/Di pagi hari/ dan seterusnya. Begitu, antara lain, bunyi lirikanya.
Ada band lain yang kemudian berdiri, di bawah pimpinan Itto Rivano (terakhir Sekda Pandeglang), namanya Tifa Nada. Popularitas Rawayan Ria tampaknya lebih menonjol. Buktinya, Rawayan Ria jadi juara kedua dalam festival band se-Banten di Serang. Band leader-nya, si Kumis, Ujang Syakhri.
Uwes Qorny dan kawan-kawan kemudian membentuk kelompok Ikatan Penggemar Seni Budaya Indonesia (IPSBI). Terpilih pengurusnya, ketua Ohim Ibrahim, wakil ketua Uwes Qorny, dan sekretaris Ii Mufroni.
“Bedol Pamarayan” dan Bu Nunik
Ada Bendung Pamarayan di Kabupaten Serang, tepatnya di Kecamatan Pamarayan. Bendung inilah yang mengatur tata guna air dari Sungai Ciujung dan Ciberang, yang membelah Kabupaten Lebak. Mata air kedua sungai itu ada di perut Gunung Kendeng, Kecamaan Leuwidamar (tanah adat Baduy), Kabupaten Lebak.
Setiap tahun, Bendung Pamarayan itu dibuka, pintu airnya dilepas, dikenal warga dengan nama “Bedol Pamarayan”. Warga setempat ramai-ramai memungut ikan di sungai yang sudah tidak berair itu. Pintu airnya, memang dijebolkan alias, di-bedol-kan (dilepas). Ada “Bedol Pamarayan” suatu hari. Uwes Qorny dan kawan-kawan pergi ke sana. Maklum, acara langka, dan boleh disebut rekreasi setahun sekali. Bagaimana soal sekolah? Inilah akal bulus anak-anak, terutama Uwes Qorny yang mengambil inisiatif menulis pengumuman di papan tulis. Isi pengumuman itu, “Besok hari, anak-anak kelas II C Libur”.
Maka, Uwes Qorny dan kawan-kawan berangkat ke Pamarayan. Tidak diketahui pasti, teman-teman Uwes Qorny mau saja, padahal mereka tahu, gagasan itu bukan datang dari guru, bukan pula datang dari sekolah, melainkan datang dari akal-akalan saja. Bagaimana dengan Bu Nunik, guru Etnologi (ilmu-bangsa-bangsa) yang ketika pagi-pagi masuk kelas, tetapi tanpa murid? Boleh jadi jengkel. Lebih men-jengkel-kan lagi, di papan tulis ada pengumuman hari libur segala.
Uwes Qorny dan kawan-kawan kemudian merasa akan jadi “tersangka” karena tidak masuk kelas dengan sengaja. Pasti diadili Pak Direktur SMAN. Eh, ternyata, aman-aman saja. Rupanya, Ibu Nunik tidak melaporkan kasus anak-anak muridnya yang bengal bengal itu kepada Direktur SMAN. Bu Nunik baik hati? Begitulah. Kalau dilaporkan kepada Direktur SMAN, Uwes Qorny pasti jadi tersangka utama. Dan, anak-anak kelas II C itu kemudian naik semua.
Anak-anak kelas II C ini semuanya tujuh orang, ditambah beberapa orang anak baru yang berasal dari sekolah lain. Mereka adalah Yuyu Rohana, Mimin Aminah, si “bintang” di langit Banten, Ii Sumaryati, Iyoh, Memed, Mohammad Zen, Ceppy Suwandi, dan Ohim Ibrahim. Di antara murid kelas II C itu, ada dua anak yang berkelakukan aneh-aneh : Uwes Qorny dan Toyo Rakhmat.
Debat Koperasi Sekolah
Debat pembentukan koperasi sekolah berlangsung, suatu hari, dipimpin Edi Suryadi, kelas I. Soal yang diperdebatkan menyangkut koperasi yang berbadan hukum, tetapi diurus oleh anak-anak yang belum dewasa, yang masih onbekwaam (perlindungan atau penampunan).
Dalam debat itu, tampil narasumber, Suparno (guru mata pelajaran ekonomi), tetapi jawabannya dianggap tidak memuaskan. Lalu, tampil pula Direktur SMAN Soeminto jadi narasumber. Toyo Rakhmat dan Ohim Ibrahim gencar menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan mendasar.
Anak-anak dari jurusan B (paspal = pasti alam) diam saja, jadi penonton, karena memang mereka tidak memahami urusannya, bukan bidang pelajaran mereka. Oleh karena perdebatan guru – murid itu tidak berujung, dan tidak ada keputusan, maka gagasan pembentukan koperasi sekolah itu gagal total.
Persoalannya baru terungkap kemudian. Ternyata, enteng saja. Koperasi sekolah tidak memerlukan badan hukum. Kalau itu terungkap dalam perdebatan sebelumnya, tentu gagasan pembentukan koperasi sekolah akan lancar-lancar saja. Direktur SMAN Soeminto marah karena program koperasi sekolah gagal? Tampaknya, begitu, gara-gara Uwes Qorny dan kawan-kawan.
“Beres, Dak, Isuk Sakola!”
Suatu hari, entah apa alasannya, tiba-tiba kelas III C diliburkan. Lebih dari itu, malah kelas III C disegel segala. Anak-anak menyambut gembira pengumuman libur itu? Malah bertanya-tanya, karena “tak ada hujan tak ada angin sebelumnya”.
Ceritanya, Direktur SMAN kesal karena anak-anak kelas III C sering gaduh, terutama anak-anak perempuan yang sering cerewet. Kantor Direktur SMAN ini hanya dipisahkan dengan dinding bambu dari ruang kelas III C.
Direktur SMAN masuk kelas, dan kelas III C diliburkan selama sepekan. Direktur SMAN itu pun tidak memberi kesempatan bertanya kepada anak-anak.Boleh jadi, kalau ada tanya jawab, khawatir kelak berlanjut pada perdebatan seperti ketika pembentukan koperasi sekolah yang gagal.
Anak-anak kelas III C itu kemudian berkumpul di rumah Yuyu Rohana, di Jalan Patih Derus. Semua bingung. Tidak tahu jalan keluarnya, padahal hari-hari ujian semakin dekat. Kalau ujian tidak lulus, aduh, betapa memalukan dan memilukan. Anak-anak kelas III C bingung. Mereka tidak tahu harus berbuat apa, dan bagaimana…
Di tengah kebingungan itu, Uwes Qorny tampil menyampaikan gagasan, akan menemui langsung Direktur SMAN yang tampaknya sedang ngambek itu. Teman-temannya setuju.
Maka, jadilah Uwes Qorny juru bicara kelas III C, jadi “diplomat” gaya kelas III C. Urusannya, lobby juga, urusan yang menyangkut kebijakan pimpinan tertinggi di sekolah. Lalu, Pergilah Uwes Qorny sendiri ke sekolah, minta izin menemui Direktur SMAN, dan langsung diterima.
Setelah berhadap-hadapan, Uwes Qorny tampil bergaya seorang diplomat. “Begini, Pak! Pertama-tama, kami mohon maaf. Kami menyesal atas kelakuan kami yang kurang disipilin. Kedua, kebijakan Bapak meliburkan sepekan agar ditinjau kembali,” kata Uwes Qorny, lembut dan datar.
Lalu, inilah serangkaian kalimat yang menyodok dan sekaligus membangun kesadaran Direktur SMAN. Kata Uwes Qorny lagi, “Kedua, begini, Pak! Ujian ini merupakan yang kali pertama di SMAN ini. Kalau diliburkan, sungguh kami rugi, padahal hari-hari ujian semakin dekat”. Rupanya, Direktur SMAN ini memahami benar penyesalan anak-anak. Sekaligus pula, Direktur SMAN menghargai niat baik mereka dalam menghadapi ujian SMAN yang memang kali pertama diselenggarakan. Maka, tanpa berpkir panjang lebar, kata Direktur SMAN ketika itu juga, “Besok, masuk lagi!”.
Teman-teman Uwes Qorny menunggu harap-harap cemas. Berhasil atau gagal misi “diplomatik” Uwes Qorny? Jangan-jangan, malah diperpanjang masa liburannya. Rumah Yuyu Rohana pun terasa suram. Anak-anak sedang muram.
Uwes Qorny datang menemui teman-temannya yang sedang menunggu hasil pertemuan dengan Direktur SMAN itu. Hasilnya, “Beres, Dak, isukan sakola!”. Maka, melonjaklah kegirangan anak-anak itu. Misi “diplomatik” Uwes Qorny berhasil. ”Cukup! Pokoknya, besok masuk sekolah lagi!”).
Dengan demikian, masa libur tidak sampai sepekan. Bubarlah perteman di rumah Yuyu Rohana itu. Anak-anak berbunga-bunga, berbahagia, persis seperti burung-burung kenari yang berbangga dan berbahagia saat menyambut sang surya tiba.
Ada yang mengucapkan terima kasih kepada Uwes Qorny? Tidak ada, justru Uwes Qorny berterima kasih karena sudah dipercaya jadi diplomat. “Begitulah gaya Rangkasbitung, gaya Banten. Saya sendiri hanya terdorong oleh rasa kebersamaan,” kata Uwes Qorny.
“Bintang” Di Langit Banten
Ada 15 murid SMAN I Rangkasbitung ketika itu. Mereka generasi pertama. Semua lulus, kecuali Mimin Aminah, murid paling cantik, bahkan paling cantik se-Banten. Oleh karena paling cantik itu, bahkan Uwes Qorny pun tidak berani jatuh cinta.
Ke-tidak lulus-an Mimin, sebenarnya bukan karena banyak angka merah, melainkan ada faktor lain sehingga menjeratnya jadi tidak lulus. Uwes Qorny merasa bertanggung jawab pula atas ke-tidak lulus-an Mimin Aminah itu.
Ceritanya, suatu hari, Uwes Qorny ditugasi Direktur SMAN I Rangkasbitung, Soeminto, untuk mengantar Mimin menemui Kapolres Lebak Rustam Effendi. (Belakangan, Rustam satu mertua dengan Soeminto. Mertua mereka Ibu Ali Sastrawiguna. Soeminto menyunting Betty dan Rustam menyunting Hedy).
Mengapa Mimin dipanggil Kapolres? Soalnya ada temuan mencurigakan berkatian dengan kertas ujian Mimin. Soeminto tahu persis, pertanyaan ujian tidak dijawab semua, banyak yang kosong.
Ketika kertas hasil ujian Mimin diperiksa, ternyata pertanyaan yang semula kosong itu jadi penuh semua. Jawabannya betul pula. Soeminto curiga. Ada apa gerangan dengan gadis - yang dinilai - tercantik di Banten itu?
Kecurigaan Soeminto kemudian terjawab. Orang yang mengisi pertanyaan kosong pun diketahui. Berdasarkan hasil penyelidikan, ternyata, kertas ujian Mimin itu diambil salah seorang guru, guru mata pelajaran tata negara.
Lalu, kertas yang kosong itu dibawa ke rumah Mimin, sekaligus Mimin diminta mengisinya. Oleh karena disuruh Pak Guru, Mimin mau saja. Mengapa Pak Guru begitu? Ah, mudah ditebak, karena bujangan sarjana muda IKIP ini teramat “hogob”, demikian Uwes Qorny menyebut, dan berharap umpan balas cinta Mimin.
Tidak diketahui pasti, apakah ketika itu Mimin sadar atau tidak sadar atas aksi kebaikan Pak Guru itu. Ternyata, buruk bagi Mimin kemudian. Mimin tidak lulus ujian. Sudahlah. Mimin korban ambisi dan mimpi seorang guru? Urusan ujian di sekolah, kemudian jadi urusan di polisi.
Boleh jadi, Mimin dipanggil sebagai saksi, dan Uwes Qorny sebagai saksi-nya saksi. Uwes Qorny mengaku bersedih karena Mimin tidak lulus, sedih bukan karena “hogob”. Uwes Qorny memperoleh pelajaran berharga dari kasus Mimin itu : baha setiap kesalahan adala dosa. Setiap dosa, ada hukumanya.
Ketika acara perpisahan, dalam sebuah upacara yag dihadiri para guru, murid, tokoh masyarakat, dan pejabat, Uwes Qorny ditunjuk sebagai wakil teman-temannya untuk menyampaikan pesan, kesan, dan kenangan.
Pada sambutannya, Uwes Qorny mengingatkan bahwa betapa negeri Lebak tetap memprihatinkan. Kualitas gedung sekolah menyedihkan. Uwes Qorny semangat berpidato, tetapi sedih pula karena Mimin tidak hadir. Mimin tidak lulus dari SMAN, tetapi nasibnya kemudian cukup baik karena dipersunting seorang sarjana wajib militer (wamil) lulusan UI, Gufron Dwipayana. Terakhir, Gufron jadi direktur PFN (Perusahaan Film Negera) dan asisten Mensesneg.
Lama setelah itu, dan setelah kabar Mimin tidak terdengar lagi, tiba-tiba datang berita, Mimin meninggal dunia di Belanda ketika berobat. Penyakit kankernya cukup parah. Uwes Qorny bersedih lagi. Terbayang ketika Mimin jadi “rebutan” saat jadi bintang SMAN I Rangkasbitung, ketika Mimin diantar ke Polres Lebak, ketika Mimin bersedih karena tidak lulus ujian, dan ketika Mimin tidak hadir pada acara perpisahan. Semua jadi kenangan, jadi nostalgia SMAN, meski tanpa gita cinta dari SMA.
Suami Mimin, Brigjen Gufron Dwipayana meninggal dunia tahun 1990-an sebelum Mimin. Presiden Soeharto dan Ibu Tien melayat ke rumah duka ketika Gufron Dwipayana meninggal dunia.
Terbayang di benak Uwes Qorny ketika Mimin berbahagia dipersunting Gufron yang baru saja lulus dari wamil UI. Tidak lulus dari SMAN, tetapi – rasanya – Mimin memperoleh pengganti yang lebih bermakna, jauh lebih berharga dari sekadar selembar ijazah SMAN.
Suatu hari kemudian, dalam perkawinan Uwes Qorny bin K.H. Adra’i – Iece Hilwiah binti Raden Nawawi Wiriatmaja. Ayah Mimin, Kosasih, jadi wakil rombongan calon pengantin wanita, sedangkan yang bertindak wakil rombongan calon pengantin pria, Nafsirin Hadi.
Akad nikah Uwes – Iece berlangsung di Jalan Letnan Muharam, Rangkasbitung, 4 Mei 1974. Babak kehidupan lajang Uwes Qorny dipangkas, dan mulai masuk ke babak berikutnya. Uwes Qorny berbahagia. Pucuk kenari pun bernyanyi.
Uwes Qorny kawin setelah semasa kecil dulu menyaksikan puluhan pasangan calon pengantin dikawinkan. Uwes Qorny, ketika itu, selalu setia mendampingi sang ayah (K.H. Adra’i) yang memang penghulu itu. Oh, beginilah rasanya jadi pengantin!
Menginap di Rumah Bupati
Orang yang menjadi bupati Lebak (karena dulu ada pemisahan kepala daerah dan bupati) ketika itu, Mohammad Saleh, mantan patih Lebak yang pernah pindah ke Sukabumi. Bupati Lebak ini punya anak, Syarif Hidayat, yang kebetulan sesama anggota "gang" Uwes Qorny semasa di SMP dan SMA, bersama Toyo Rakhmat, Saepudin, Toyo Herano, Hidayat Bawadi, Ujang Syakhri, Hartoko, dan lain-lain.
Setelah dewasa, Uwes Qorny dan Syarif Hidayat tetap bersahabat. Kalau orang tua Syarif Hidayat berlibur ke Sukabumi, Uwes Qorny biasa diajak Syarif Hidayat untuk menginap di gedung negara pendopo Kabupaten Lebak. Ketika itu, entahlah, apakah Uwes Qorny pernah mimpi jadi bupati Lebak atau tidak.
Pada hari-hari berikutnya, Uwes Qorny sering diundang ke gedung negara pendopo Kabupaten Lebak, baik untuk sekadar ngobrol maupun untuk menghadiri upacara-upacara resmi. Terlebih-lebih, Bupati Lebak Drs. H. Moch. Yas’a Mulyadi, .M.T.P., yuniornya di KUMALA, terbilang sering mengundangnya.
Almamater
SMAN I Rangkasbitung dengan sendirinya jadi almamater. Bersamaan dengan munculnya sang surya pagi hari, dan nyanyi-nanyi burung di pucuk kenari, di jantung kota Rangkasbitung, sekolah yang terletak di Jalan Pahlawan itu ditinggakan pula. Teman-teman Uwes Qorny pun berpencar, ada yang meneruskan jenjang pendidikan ada pula yang tidak, baik karena kekurangan minat, bekerja, atau karena faktor ekonomi.
Tidak sedikit, pejabat atau pebisnis sukses sekarang ini berasal dari SMAN I Rangkasbitung. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mengadakan reuni, berkumpul kembali untuk mengenang masa-masa di SMAN I Rangkasbitung, masa-masa yang indah dan masa-masa yang pahit, atau masa-masa manis campur pahit.
Banyak lulusan SMAN I Rangkasbitung yang kini menyandang gelar doktor, apalagi yang menyandang gelar S-1 nyaris tidak terhitung lagi. Lebih tidak terhitung lagi, lulusannya.
Kini, di Kabupaten Lebak, SMAN sudah ada di beberapa kecamatan. Apa pun, SMAN I Rangkasbitung adalah SMAN perintis. Kalau kemudian sering jadi pilihan pertama lulusan SMP di Kabupaten Lebak sendiri, sangat mungkin karena kualitas dan kredibilitasnya, bukan semata-mata karena yang pertama – barangkali. ☻
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar